Prolog

Jujur saja, ngeblog is not my hobby. Ngeblog just iseng-isengan ae lah. Blog ini cuma buat nuangin segala isi hati, kepala, telinga, dada, kaki alias sikil, tangan, dan organ tubuh saya yang lainnya, termasuk yang rahasia itu. Nama saya juga seperti sebuah keisengan, Pangeran Shry Naga Poespa. Bermarga Naga menjadi sebuah kebanggaan, bukan sekedar hobi tentunya. Lahir di Canary, pada 09 Juni 1990. Menjadi penengah atau anak ke-4 dari 6 bersaudara. Beristrikan Intan Rafika Permata Hati. Putri cantik dan mempesona dari Loktuan-Bontang. Memiliki cita-cita sebagai insan paripurna. Misalnya, menjadi petani dengan pekerjaan sampingan sebagai rektor sebuah perguruan tinggi.

Berita Kita

Semoga artikel, opini, puisi, atau apapun yang ada dalam blog ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Selasa, 23 Oktober 2012

Membaca Status; “Kekerasan Sebagai Budaya”


Jika merunut pada jejak-jejak leksikon sejarah kehidupan manusia, maka kita akan mendapati kenyataan bahwa kekerasan (dalam bentuk apapun) telah mendampingi kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Bahkan bisa dikatakan bahwa usia kekerasan, baik kekerasan individu maupun institusi, kekerasan fisik maupun bathin, serta kekerasan model lainnya, adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri. Kekerasan terbukti telah “merepotkan” umat manusia dengan segala konsekuensinya. Sejarah juga telah mencatat bahwa konvensi mengenai hukum serta perundang-undangan tentang hukum lainnya lahir ketika sebelumnya terjadi kekerasan yang tentunya mengganggu kenormalan kehidupan manusia. Sebut saja Magna Charta, Bill of Rights versi Inggris dan Amerika, Declaration des droits delhome et du Citoyen milik Perancis, The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi HAM) buatan PBB, Deklarasi Kairo, serta kovenan-kovenan hukum lainnya, merupakan kesepakatan yang berawal dari suatu kejadian atau aktifitas yang menyentuh aspek-aspek asasi dalam kehidupan manusia, yaitu berupa akumulasi kekerasan-kekerasan.

            Deskripsi singkat di atas memastikan sebuah premis sebagai jawaban atas pertanyaan apakah benar kekerasan telah membudaya dalam kehidupan kita? Jelas bahwa perkembangan zaman dengan lahirnya istilah-istilah baru seperti globalisasi, modernisasi, dan istilah-istilah lainnya tidak mampu menggeser kekerasan dari ranah kehidupan sosial manusia. Kekerasan intelektual, kekerasan ekonomi, kekerasan dalam bidang agama, dan kekerasan-kekerasan lainnya seakan-akan memiliki “hak paten” untuk hidup dan berkembang bersama manusia. Beberapa fenomena kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa kekerasan seakan-akan “memproklamirkan” diri sebagai salah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Disadari atau tidak, kehidupan memang selalu berkaitan dengan hal-hal yang kontradiktif, dan kekerasan termasuk di dalamnya.

            Pembahasan-pembahasan selanjutnya tentang pertanyaan tadi mengerucut pada satu kongklusi bahwa kekerasan memang telah membudaya dalam kehidupan manusia. Analogi bebasnya adalah bahwa awalnya kekerasan itu hanyalah berbentuk segumpal darah, kemudian berkembang menjadi ceceran-ceceran yang merasuk ke berbagai aspek kehidupan manusia, kemudian membeku menjadi seonggok daging sebagai fenomena. Itulah bentuk proses kekerasan terjadi.

            Kesimpulan bahwa kekerasan telah membudaya dalam rantai kehidupan manusia memiliki alasan sebagai berikut:
a.       Deskripsi singkat di atas menggambarkan bahwa kekerasan melekat dalam kehidupan manusia sebagai konsekuensi dari kehidupan berkomunitas (mengarah pada Teori Konflik)
b.      Kepingan-kepingan fenomena yang terjadi di sekita kita merupakan bukti bahwa kekerasan telah menjadi sebuah paradigma beberapa kalangan. Kasus korupsi Gayus Tambunan merupakan contoh kekerasan ekonomi, inequality dalam bidang pendidikan mewakili kekerasan intelektual, KDRT dan penyiksaan PRT adalah contoh riil dari kekerasan hak asasi, dan masih banyak lagi fenomena-fenomena lainnya. Kekerasan-kekerasan tadi bukanlah yang pertama dalam perjalanan kehidupan kita, akan tetapi merupakan ulangan dari fenomena kekerasan sejenis sebelumnya. Maka bukanlah sebuah kekeliruan jika kita menyimpulkan bahwa status kekerasan bukan lagi sebatas wacana atau fenomena biasa tetapi telah menjelma menjadi sebuah kebudayaan yang masih “terpelihara”.



Oleh : Pangeran S Naga P
   *dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat
Posted on 04.51 / 0 komentar / Read More

QUO VADIS “SUARA MAHASISWA” ?


Sebagai prolog dari tulisan ini, penulis hendak menyampaikan ucapan belasungkawa dan sedih yang mendalam atas beberapa fenomena kecil secara kasat mata namun sangat bernilai ketika direfleksikan dalam perenungan yang mendalam. Salah satunya adalah ketika penulis mengetik kata “mahasiswa jogja” di searching Google,  yang muncul adalah deretan data tentang kasus yang melingkupi dunia mahasiswa Yogyakarta. Mulai dari kasus longgarnya kos-kosan yang mengakibatkan mudahnya mahasiswa dan mahasiswi berbaur secara bebas hingga kasus persentasi sebuah penelitian yang mengatakan bahwa 97,05% mahasiswi Yogyakarta tidak perawan lagi. Memilukan sekaligus memalukan. Jika ditelusuri lebih jauh, kita akan mendapati sebuah kenyataan yang lebih memprihatinkan lagi. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Pelatihan Bisnis dan Humaniora (LSCK PUSBIH), Iip Wijayanto, kepada wartawan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), JI. Malioboro, Yogyakarta, menyampaikan sebuah persen data yang sungguh mencengangkan, bahwa 97,05% mahasiswi di Yogyakarta sudah tidak perawan lagi. Dari 1.660 responden penelitian LSCK PUSBIH (1999-2002), hanya 2,95% yang belum melakukan hubungan seks berpasangan atau 2,77% ditambah 0,18%. Sementara sebanyak 97,05% telah melakukan kegiatan seks berpasangan. Sebanyak 63% melakukan kegiatan seks di tempat kost pria pasangannya, 14% dilakukan di tempat kost putri atau rumah kontrakannya, 21% di hotel kelas melati yang tersebar di kota Yogya dan 2% lagi di tempat wisata yang terbuka.
Kembali ke topik awal, suara mahasiswa tidak dapat dimaknai secara leterlek-tekstual saja. Suara mahasiswa bukan sekedar intonasi nada-nada, logopedi, serta kata-kata dari mulutnya. Suara mahasiswa adalah muatan ekspresi intelektual dari hati, moral, pengetahuan, visi-misi, serta pandangan dari seorang mahasiswa. Suara mahasiswa adalah suara mereka yang berpayung lampu merah, suara mereka yang tertindas, serta suara mereka yang menginginkan perubahan sesuai dengan motto mahasiswa sebagai agent of change. Inilah fungsi mahasiswa; melakukan intelektualisasi pemikiran serta menyuarakan serak-serak dan teriakan dari rakyat yang menginginkan aplikasi sila-sila Pancasila dan pasal-pasal UUD.
Kajian selanjutnya adalah komparasi antara status “suara mahasiswa” dalam definisi tadi dengan kenyataan yang terjadi di dunia kemahasiswaan belakangan ini. Mahasiswa yang digadang sebagai aplikator selanjutnya dari ide-ide rekonstruktif dan visi-misi kerakyatan, seringkali menorehkan tinta hitam dengan kisah-kisah yang memalukan. Sebut saja cerita tawuran mahasiswa antar fakultas, hingga cerita seperti dalam prolog tadi. Jika mengaca pada kinerja mahasiswa pra-reformasi, kita akan mendapati kisah-kisah inspiratif dan penuh makna. Tengoklah pada tahun 1966, mahasiswa bersama ABRI dan rakyat berperan melahirkan Orde Baru yang meruntuhkan supremasi Orde Lama yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak memihak rakyat lagi. Tahun 1977 / 1978 mahasiswa melakukan tindakan korektif menentang kecurangan Orde Baru dalam pelaksanaan pemilu. Serta yang paling spektakuler adalah gerakan mahasiswa dalam meruntuhkan rezim Orde Baru pada tahun 1998.
Memang, kita tidak boleh melupakan peran mahasiswa yang lain, yang masih menyanyikan “suara” mereka dengan indah. Masih banyak mahasiswa yang berprestasi, berperan sebagaimana mestinya, serta memiliki idealisme merakyat dalam bingkai realitas yang sangat mengagumkan. Kita wajib memberikan applaus kepada mereka. Namun kita juga tidak dapat menutup diri dari kenyataan kebobrokan mahasiswa yang lain. Ada mahasiswa yang mencampuradukkan fungsi dan idealisme hakiki mereka dengan kepentingan lain semacam politik dan sebagainya. Ada pula mahasiswa yang tidak lagi menjadikan kampus sebagai media pembentukan karakter militan yang reformatif dan berintelektual. Kenyataannya, kampus bukan lagi sebatas ruang diskusi dan belajar kelompok, tetapi telah berkembang menjadi ruang kencan yang “berlebihan” dan kegiatan remaja lainnya. Perpustakaan bukan lagi sekedar wadah pencarian prakata, kata-kata, dan pustaka dari sebuah karya para intelektual, namun telah berimprovisasi menjadi tempat berdua-duaan antara mahasiswa dan mahasiswi membahas masalah yang sangat tidak edukatif. Bahkan yang paling memalukan adalah ketika organisasi politik mahasiswa bukan lagi sekedar media pemupukan potensi berpolitik, akan tetapi telah berkembang sebagai media pencarian popularitas serta perlakuan barbar. Seringkali terjadi kericuhan antar organisasi politik mahasiswa hanya karena persoalan perebutan kursi dan kekuasaan dalam struktu perpolitikan kampus.
Lantas di manakah “suara mahasiswa” itu berada? Masih adakah di sela-sela kursi kuliah mahasiswa? Ataukah di setiap hela nafas mahasiswa di antara rak-rak buku di perpustakaan? Ke manakah “suara mahasiswa” itu akan dibawa? Ke arah realitas-progresif yang sesuai dengan idealisme kerakyatan dan fungsi hakikat mahasiswa atau ke arah kehancuran idealisme dan fungsi mahasiswa itu sendiri? Quo vadis “suara mahasiswa”? Jawabannya ada di tangan mahasiswa itu sendiri. Apakah akan bangun dan melakukan tindakan preventif terhadap terjadinya kejadian-kejadian yang lebih miris lagi, ataukah tetap pulas dalam ketidaksadaran dan keterlenaan yang menghanyutkan ini? Inilah epilog dari refleksi ketidaknyamanan akan dunia mahasiswa belakangan ini, sekaligus evaluasi korektif dalam diri mahasiswa tersebut.


Oleh    : Pangeran S Naga P
              Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits
              Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Posted on 04.49 / 0 komentar / Read More

SUMPAH PEMUDA DAN PERAN MAHASISWA

Memperingati hari Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang, Rekreasi dalam Kreasi  akan menyajikan postingan tentang momen tersebut sekaligus kaitannya dengan mahasiswa Indonesia.


Sudah 84 tahun sejak ikrar persatuan para pemuda, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda, dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia tetap menjadi sorotan. Sumpah yang dibacakan di sebuah pondokan pelajar dan mahasiswa ini, tepatnya di Jalan Kramat Raya 106, hanyalah sekelumit dari peristiwa-peristiwa berkaitan dengan peran pemuda, khususnya mahasiswa, dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini pula yang semakin mengukuhkan mahasiswa sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan berkembang di negeri ini. Kenapa mahasiswa? Karena sosok yang satu ini merupakan representasi dari kaum pemuda bangsa ini.
Leksikon sejarah seperti ini kini menjadi urgen untuk direfleksikan dan direaktualisasi, sehubungan dengan kondisi pasang surut peran mahasiswa dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Kita pernah dibuat bangga dengan partisipasi mahasiswa dalam proses terbentuknya beberapa kebijakan di negeri ini. Salah satunya, dan yang paling monumental, adalah ketika tahun 1998 mahasiswa Indonesia berhasil menggulingkan supremasi Orde Baru yang dinilai tidak membawa kemakmuran bagi rakyat bangsa ini.
Akan tetapi, beberapa tahun setelah terjadinya peristiwa reformasi tersebut, dunia mahasiswa Indonesia dirundung oleh beberapa kejadian yang mencoreng muka mahasiswa itu sendiri. Ya, momen Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang justru dibuka dengan peristiwa-peristiwa miris di lingkungan pemuda kita. Tentu kita masih ingat peristiwa tawuran pelajar beberapa waktu lalu, kemudian disusul dengan tawuran antar mahasiswa di salah satu kampus besar di Sulawesi Selatan.
Peristiwa tawuran seperti ini tidak dapat dipungkiri justru memberi kesan tidak adanya persatuan di antara mahasiswa kita. Persatuan mahasiswa, yang oleh Muhammad Yamin, terbentuk oleh dari aspek sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan, kini mulai tersisihkan oleh aspek-aspek lain yang mungkin lebih bersifat politis. Memang belakangan muncul asumsi bahwa perpecahan di antara mahasiswa disebabkan oleh kekuatan politis yang menyusup ke dalam tubuh mahasiswa kita, guna memecah belah kekuatan mahasiswa yang seringkali memberikan protes dan gerakan perlawanan terhadap hegemoni dan kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Terlepas dari asumsi di atas, masyarakat Indonesia tentunya sangat merindukan gerakan mahasiswa yang memperjuangkan keinginan dan hasrat untuk sejahtera. Adalah sebuah kewajiban bagi mahasiswa untuk terus mengejawantahkan rumusan fungsinya ke dalam praktik keseharian. Peristiwa Boedi Oetomo tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, hingga reformasi pada tahun 1998, adalah bukti sahih yang menunjukkan bahwa mahasiswa adalah lokomotif yang membawa aspirasi rakyat bangsa ini. Peran mahasiswa sangat dituntut implementasinya, salah satunya disebabkan oleh tidak efektifnya lembaga perwakilan rakyat di negeri ini dalam menyampaikan aspirasi dari bawah. Pada saat inilah mahasiswa, mewakili kaum muda, berfungsi sebagai corong yang menyuarakan aspirasi rakyat kita.
Jelaslah, ketika parlemen kita lesu dalam menyambung lidah rakyat, mahasiswa seharusnya semakin maju dan berani menampakkan fungsinya. Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang hanyalah satu momen penting untuk merefleksikan kembali fungsi substantif mahasiswa. Langkah-langkah politis dari beberapa kalangan seharusnya tidak sampai memporakporandakan persatuan mahasiswa, apalagi sampai pada tahap saling membunuh. Pada akhirnya, mahasiswa harus menyadari fungsinya sebagai gerbong yang memikul semua keingingan rakyat. Dan yang terpenting, fungsi dan peran ini semestinya selalu direfleksikan untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.



Oleh    : Pangeran S Naga P
            Mahasiswa Fakulas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

*dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat edisi Selasa, 23 Oktober 2012
Posted on 04.14 / 0 komentar / Read More

Minggu, 21 Oktober 2012

50 Universitas Terbaik di Indonesia 2012

Postingan berikut bertujuan untuk memberikan referensi kepada calon mahasiswa di seluruh Indonesia.

Universitas terbaik, Mungkin anda sedang mencari daftar  Universitas terbaik di indonesia tahun 2012. Universitas atau perguruan tinggi adalah tempat yang digunakan untuk memperdalam suatu ilmu, atau sekedar mencari title sarjana. Di indonesia terdapat banyak sekali universitas atau perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Harga atau biaya juga sangat bervariasi, ada yang murah, ada juga yang mahal. Memang Pendidikan di indonesia masih terasa sangat mahal, sehingga setelah selesai atau lulus dari SMA/SMK banyak mereka yang langsung bekerja. Jika otak mereka mampu, Sebenarnya mereka bisa memilih universitas negeri yang gratis, tetapi itu tidak mudah karena saingan pasti sangat banyak.
Universitas terbaik di indonesia 2012 Universitas di indonesia sebenarnya tak kalah jauh dengan universitas yang ada diluar sana, namun memang pendidikan diluar sana lebih maju daripada di negara kita, sehingga akhir-akhir ini banyak dari kita yang rela jauh-jauh keluar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. namun disini tak akan membahas universitas terbaik di luar negeri, tetapi membahas tentang Universitas terbaik di indonesia versi 4ICU. dan inilah daftar universitas atau perguruan tinggi tersebut.

Universitas terbaik di indonesia

1
Institut Teknologi Bandung
Bandung
2
Universitas Indonesia
Depok ...
3
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
4
Universitas Gunadarma
Depok
5
Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung
6
Universitas Diponegoro
Semarang ...
7
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
8
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
9
Universitas Airlangga
Surabaya
10
Institut Pertanian Bogor
Bogor
11
Universitas Sumatera Utara
Medan
12
Universitas Padjadjaran
Bandung ...
13
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
14
Universitas Brawijaya
Malang
15
Universitas Mercu Buana
Jakarta
16
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Yogyakarta
17
Universitas Kristen Petra
Surabaya
18
Universitas Sriwijaya
Palembang ...
19
Universitas Surabaya
Surabaya ...
20
Universitas Muhammadiyah Malang
Malang ...
21
Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta
22
Universitas Bina Nusantara
Jakarta ...
23
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Surakarta
24
Universitas Negeri Malang
Malang
25
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jakarta
26
Universitas Negeri Semarang
Semarang ...
27
Universitas Andalas
Padang
28
Universitas Hasanuddin
Makassar
29
Universitas Komputer Indonesia
Bandung
30
Universitas Lampung
Bandar Lampung
31
Universitas Udayana
Badung ...
32
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta
33
Universitas Esa Unggul
Jakarta ...
34
Universitas Bengkulu
Bengkulu
35
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta
36
Universitas Jember
Jember
37
Universitas Tarumanagara
Jakarta
38
Universitas Trisakti
Jakarta
39
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
40
Universitas Negeri Surabaya
Surabaya
41
Universitas Sam Ratulangi
Manado
42
Universitas Negeri Padang
Padang ...
43
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tangerang
44
Universitas Riau
Pekanbaru
45
Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh
46
Universitas Negeri Medan
Medan
47
Universitas Paramadina
Jakarta
48
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja
49
Universitas Trunojoyo
Bangkalan
50
Universitas Mulawarman
Samarinda
50 Universitas terbaik di indonesia tahun 2012 yang bisa kita jadikan referensi ketika kita memilih sebuah universitas. Universitas hanyalah tempat dimana kita mencari atau mendalami ilmu, tetapi jika kita ingin berhasil, bukan dimana universitas yang kita pilih, tetapi niat dan keseriusan kita dalam belajar yang akan membuat kita berhasil. Apapun Universitasmu, tetap belajar dengan serius, demi masa depan mu, dan masa depan bangsa kita.
Posted on 23.19 / 0 komentar / Read More

Sekilas Hermeneutika Hans-Georg Gadamer

Berawal dari ketertarikan terhadap beberapa tokoh hermeneutika, Rekreasi dalam Kreasi akan memaparkan sedikit pengenalan tentang biografi dan pokok pemikiran Hans-Georg Gadamer.

Dalam ranah hermeneutika, dikenal beberapa orang tokoh yang memiliki kapasitas mumpuni dan keahlian dengan spesifikasi aliran hermeneutika mereka masing-masing. Salah satu di antara mereka adalah Hans-Georg Gadamer, seorang tokoh hermeneutika beraliran hermeneutika filosofis.
1.      Biografi Hans-Georg Gadamer 
Dia dilahirkan di kota Breslau[1] pada tanggal 11 Februari 1900. Ayahnya seorang guru besar kimia dan dianggap sebagai seorang ahli yang terpandang di bidangnya. Gadamer belajar filsafat di Universitas Breslau di kota asalnya, pada Nikolai Hartmann dan Martin Heidegger serta Paul Natorp. Juga belajar filsafat dari Rudolf Bultmann, seorang theolog Protestan yang terkenal dan pemikir berpengaruh dalam bidang hermeneutika.
Pada tahun 1922, dia telah meraih gelar doktor filsafat, dengan disertasi tentang Plato, di bawah bimbingan Paul Natorp. Meski sudah meraih gelar doktor, dia tetap mengikuti kuliah Heidegger di Freiburg, karena sangat mengagumi pemikiran Heidegger, sampai Heidegger diangkat guru besar di Marburg.
Dalam periode nasional-sosialisme, Gadamer tidak mau melibatkan diri dalam politik. Dan karena banyak guru besar yang diberhentikan oleh rezim nasional-sosialisme di universitas-universitas Jerman, maka pada tahun 1933, dia disuruh mengajar di Universiatas Kiel untuk menggantikan dosen yang dipecat. Pada tahun 1937, dia sudah diangkat sebagai Guru Besar di Marburg. Sedangkan pada tahun 1939, dia dipindah ke Universitas Leipzig, Jerman Timur, sebagai Guru Besar penuh dan pada tahun 1947 pindah ke Frankfurt am Main. Dan mulai tahun 1949, ia mengajar di Heidelberg sampai dia pensiun pada tahun 1968. Sesudah pensiun, dia sering memenuhi undangan untuk mengajar di Amerika Serikat dan memberi ceramah di Jerman atau tempat lain. Pada usia yang lanjut, dia masih sering ikut dalam diskusi filosofis, hingga dia termasuk ahli filsafat yang populer di Jerman. Sebelum pensiun, dia menerbitkan buku berjudul Truth and Method (edisi Inggris), yang membuatnya mencapai puncak karir. Gagasan Gadamer sangat berpengaruh dalam ilmu-ilmu humaniora.
Dengan buku Truth and Method sebagai magnum opus-nya, membuat Gadamer sebagai ahli filsafat terkenal di bidang hermeneutika filsafat. Penerbitan buku tersebut bisa dinilai sebagai kejadian penting, setidaknya dalam bidang hermeneutika, dalam sejarah filsafat Jerman abad 20. Pada edisi terbitan 1965, ada tambahan dalam pendahuluan, di mana Gadamer menjelaskan maksudnya, sekaligus menjawab keberatan-keberatan yang dilontarkan oleh pemikir-pemikir mitranya.
Meski begitu, bukanlah hal yang mudah untuk memahami karya-karya Gadamer. Kesulitan dalam memahaminya, terletak pada:
a.      Menurut faktanya, filsafat hermeneutika Gadamer didasarkan pada pemikiran hermeneutika. Alasan Gadamer, sangat mengandalkan analisis kritisnya tentang bahasa, kesadaran historis serta pengalaman tentang estetika. Apakah analisisnya itu menghapus dasar-dasar hermeneutika atau gagasan Gadamer lebih abstrak, tidak historis dan lebih orisinal? Analisis pada Truth and Method, menunjukkan usaha untuk menghindari pembahasan yang lebih, terhadap sejarah sebagai titik tolak atau dasar pemikiran tentang kebenaran.
b.      Gagasan dalam Truth and Method tanpa garis batas dan ketertutupan tanpa penjabaran. Gagasan tersebut menerangkan pembedaan tanpa disertai pemilahan perbedaan.
2.      Pokok Pemikiran
Dalam hal peristiwa, waktu, teks, ataupun pembaca teks, Hans Gadamer berbeda dengan Schleiermacher dan Dilthey. Gadamer berpendapat, memang ada kesenjangan waktu antara pembaca dengan pengarang, namun tidak harus diatasi seolah-olah sebagai sesuatu yang negatif, melainkan malah harus dipikirkan sebagai perjumpaan horison-horison pemahaman. Pembaca bisa memperkaya horison pemahamannya dengan membandingkan terhadap horison pengarang. Dari sini bisa dimengerti, bahwa bagi Gadamer, hermeneutika tidak hanya bersifat reproduktif saja, tapi juga produktif. Menurut dia, makna bagi kita yang hidup di zaman sekarang ini. Jadi dalam hal ini, kerja hermeneutika itu proses kreatif.
Hermeneutika Gadamer dalam penilaian Kaelan, tidak hanya merupakan hermeneutika filosofis saja, namun juga sebagai suatu filsafat hermeneutika. Artinya, pemikiran Gadamer itu tidak hanya memusatkan salah satu tugas filsafat saja (teori hermeneutika), melainkan juga mencakup banyak tugas lainnya yang mungkin ada. Pemikiran ini memandang semua tema yang ada bagi filsafat, dari segi tertentu yaitu hermeneutika.[2]
Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Tanpa hal tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian terwujud dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Proses itulah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutika oleh Heidegger dan Gadamer. Meski begitu, lingkaran sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental, yang menandai keberadaan seseorang. Atau, mengerti tentang dunia bisa menjadi mungkin, jika telah ada prapengertian tentang dunia dan diri kita sendiri, yang memungkinkan keberadaan kita.
Pada intinya, Gadamer adalah seorang yang anti metode. Pemahaman bersifat meta-metodis, yaitu pemahaman tidak dihasilkan lewat metode, tetapi lewat dialektika. Konsep hermeneutika Gadamer juga sangat bisa diterapkan dalam studi Islam, dengan penjelasan yang panjang lebar tentunya.

terimakasih atas kunjungannya ke gherafika



[1] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris – Jerman, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet. IV, 2002, hal. 254. Sedangkan E. Sumaryono, Op. Cit., hal. 67, tanpa menyebut tanggal dan bulan, sedangkan kotanya bukan Breslau tapi Marburg.
[2] Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Paradigma, Yogyakarta, Cet. III, 2002, hal. 207.
Posted on 23.15 / 0 komentar / Read More
 
Copyright © 2011. Rekreasi Dalam Kreasi . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates