Prolog

Jujur saja, ngeblog is not my hobby. Ngeblog just iseng-isengan ae lah. Blog ini cuma buat nuangin segala isi hati, kepala, telinga, dada, kaki alias sikil, tangan, dan organ tubuh saya yang lainnya, termasuk yang rahasia itu. Nama saya juga seperti sebuah keisengan, Pangeran Shry Naga Poespa. Bermarga Naga menjadi sebuah kebanggaan, bukan sekedar hobi tentunya. Lahir di Canary, pada 09 Juni 1990. Menjadi penengah atau anak ke-4 dari 6 bersaudara. Beristrikan Intan Rafika Permata Hati. Putri cantik dan mempesona dari Loktuan-Bontang. Memiliki cita-cita sebagai insan paripurna. Misalnya, menjadi petani dengan pekerjaan sampingan sebagai rektor sebuah perguruan tinggi.

Berita Kita

Semoga artikel, opini, puisi, atau apapun yang ada dalam blog ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Kamis, 11 Oktober 2012

Reformulasi Peran Pesantren ‎(Sebagai Embrio Bangsa Berdikari)‎



Dalam kerangka bangungan pendidikan di Indonesia, kita mengenal sebuah lembaga pendidikan bernama pesantren. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, pesantren merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan karena kontribusi dan partisipasinya yang sangat besar terhadap perkembangan idealisme pendidikan di Indonesia. Pesantren adalah simbol arsitektur pendidikan yang mengkombinasikan dua model pendidikan, formal dan non-formal.
Sejarah keberadaan dan perkembangan pesantren di Indonesia setidaknya telah dimulai setelah abak ke-16. Pesantren merupakan konfigurasi kolaborasi beberapa aspek pendidikan, seperti pendidikan agama, dakwah, pendidikan kemasyarakatan, dan aspek-aspek lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa awalnya pesantren sangat piawai dalam memformulasikan konsep pemikiran berlandaskan agama dengan pemikiran sosio-antropologis. Sehingga dapat kita saksikan betapa besarnya sumbangsih pesantren dalam rekam jejak perkembangan pola pikir bangsa ini.
Pesantren, sebagai transformasi sistem pendidikan Hindu dan Budha, merupakan sistem pendidikan yang orisinil berasal dari khazanah kebudayaan Indonesia. Uniknya, meskipun di beberapa daerah di Asia Tenggara memiliki sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren, namun pesantren di Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah sistem pengajaran wetonan dan sorogan yang hanya dikenal di negeri ini.
Fungsi atau peran pesantren terhadap perjalanan bangsa dan masyarakatnya dapat diformulasikan dalam beberapa konsepsi. Perlu diperhatikan bahwa pesantren memiliki dua fungsi substantif. Pertama, pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan, dan kedua, pesantren adalah sebuah lembaga sosial kemasyarakatan. Kehadiran pesantren sangat diharapkan sebagai changing and developing people. Karena sejatinya pesantren diasumsikan sebagai lambang permanensies seorang kiyai dalam sebuah komunitas. Dalam artian, seorang kiyai, dengan muatan kharismatik dan kepemimpinannya, dibutuhkan untuk merubah pola kehidupan sebuah masyarakat yang jauh dari peradaban yang baik. Kisah tentang Walisongo merupakan salah satu bukti bahwa sosok kiyai sebagai salah satu unsur pesantren telah menciptakan sebuah pola hidup baru yang lebih baik dalam sebuah masyarakat. Relasi inilah yang selanjutnya dalam ranah yang lebih besar mampu melahirkan masyarakat dan bangsa yang baik pula.
Selain dua fungsi di atas, pesantren juga berekspresi secarap positif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Respon-respon pesantren kemudian bermuara pada terbentuknya karakter masyarakat yang lebih baik dan struktural. Pertama, pesantren menyikapi persoalan-persoalan aktual dengan luwes dan fleksibel. Salah satu prinsip primordial yang tetap dipegang oleh kalangan pesantren adalah kaidah “al-muhafadzah ala al-qadim al-salih wa al-ahzu ala al-jadid al-aslah” (mempertahakan warisan yang baik dan mengambil kepada sesuatu yang lebih baik). Pesantren memiliki dinamika yang seimbang dalam melihat sebuah kejadian yang sedang booming.
Meminjam istilah KH. Zainuddin MZ., civitas pesantren selalu mengedepankan al-Qur’an dan Hadis sebagai way of life atau sumber rujukan dalam bersikap dan berargumen. Akan tetapi kalangan pesantren juga beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan modern yang universal. Masyarakat pesantren memiliki satu jargon yang prinsipil yaitu otak boleh berkiblat ke Jerman tetapi hati tetap condong ke Madinah. Sederhananya, aplikasi dan sinergi pemikiran dan teknologi yang mutakhir dari Eropa boleh dilakukan, namun landasan dalam aktifitas keagamaan tidak boleh berpijak kepada selain yang diajarkan oleh Rasulullah.
Kedua, pesantren telah mengaplikasikan konsep demokrasi sejak lama. Sebagaimana kita ketahui, demokrasi merupakan salah satu sendi kemandirian bangsa yang besar ini. Dalam pemilihan pengurus kelas atau asrama, dilakukan secara swadaya oleh para santri sendri. Birokrat pesantren hanyalah fasilitator. Dalam artian, alur perjalanan organisasi santri benar-benar berasaskan demokrasi: dari santri, oleh santri, dan untuk santri. Pesantren menyediakan lahan bagi para santri untuk aktif dalam mengembangkan potensi organisasi yang mereka miliki. Belakangan kemudian muncul formulasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, tentang tujuan pendidikan nasional sebagai penyuplai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pesantren adalah cikal bakal kemandirian bangsa dalam kontek demokrasi dan pengembangan potensi anak peserta didik.
Ketiga, Freire (1970) dalam "Pedagogy of the Oppressed" berpendapat bahwa perlu adanya kesadaran trasnformasi yang dijalani oleh seorang peserta didik.  Freire menginginkan adanya pendidikan yang berkomposisikan kesadaran faktual baik dalam fakta sosial, budaya, politik dan sebagainya. Jauh sebelum hasrat Freire tersebut, pesantren telah menerjemahkan konsep tersebut ke dalam sistem pendidikan yang tidak hanya berkosentrasi pada kekuatan material, tetapi juga bersinggungan dengan kekuatan spiritual, sebagai akumulasi dari keintiman dan intensifikasi relasi dengan Sang Pencipta. Dalam kerangka berpikir ala pesantren, karakter bangsa yang hebat adalah ketika masyarakat yang menghuni di dalamnya memiliki 3 bentuk kreativitas: kreativitas konseptual (ide), kreativitas spiritual (akhlak karimah), dan kreativitas sosial (bermasyarakat). Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pesantren adalah soko guru dan kiblat pendidikan di Indonesia.
Keempat, Gus Dur berstatemen bahwa: “Sumbangsih yang telah diberikan pesantren bagi bangsa ini telah sangat besar. Karena itu pesantren perlu mendapatkan perhatian, agar perannya dalam mengisi pembangunan semakin dirasakan masyarakat”. Di antara sumbangsih nyata dari pesantren terhadap kemandirian bangsa ini adalah output yang lahir dari “rahim” beberapa pesantren di Indonesia. Banyak tokoh bangsa yang berlatar belakang pesantren. Di abad ke-17 hingga awal abad ke-19 tercatat nama-nama sekaliber Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili, Yussuf Makassari, Abdul Samad Palimbani, Khatib Minangkabawi, Nawawi Bantani, Arsyad Banjari dan lain-lain. Mereka adalah  founding father pembaruan Islam di Nusantara. Karya-karya besar di bidang Fikih, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf, dan hasil kreasi intelektual mereka bukan hanya dalam skala domestik nusantara, tapi juga sampai diakui di kawasan internasional.
Lalu pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, kita juga mengenal Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Buya Hamka, Iljas Jacub, Mahmud Junus, Abdul Kahar Mudzakkir, Muchtar Lutfi, M. Rasjidi, Harun Nasution, Jusuf Sa’ad, dan lain-lain. Kemudian pada abad sekarang kita menemukan sosok-sosok seperti Gus Dur, Nurcholish Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Syafii Antonio, Mukti Ali, Yusril Ihza Mahendra, Tuan Guru Bajang, dan lain-lain. Kontribusi mereka terhadap perkembangan aspek kehidupan bangsa ini sangat besar. Partisipasi dan andil mereka menjadi tolak ukur tersendiri dalam diskusi nasional dan internasional. Pemetaan dinamika yang terjadi di bangsa ini tidak terlepas dari pemikiran mereka.
Penjelasan-penjelasan di atas menggambarkan betapa pentingnya eksistensi pesantren dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Dimulai sejak kemunculannya hingga masa-masa berikutnya. Merujuk kepada statemen Robert W. Hefner (1993) dan Bahtiar Effendy (1995), bahwa santri, sebagai sosok yang lahir dari pesantren, merupakan salah satu sarana pendukung kemandirian dan pembaharuan di bangsa ini.
Mengamati peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi di bangsa ini, dimana problematika individu dan kebangsaan merajalela di berbagai aspek kehidupan, maka reformulasi peran pesantren seperti di atas menjadi sesuatu yang obligatif dan represif. Dapat kita saksikan bagaimana terjadinya dekadensi kinerja yang menyelimuti pejabat-pejabat di negeri ini. Dehidrasi kontribusi, yaitu minimnya andil yang diberikan oleh sebagian besar pejabat terhadap perkembangan dan kemandirian bangsa. Di sinilah penekanan fungsi pesantren dimunculkan untuk mengatasi self-initiative crisis yang sedang kita alami.
Reformulasi peran pesantren sebagai wadah penyemaian embrio pribadi mandiri seperti di atas tidak cukup tanpa adanya upaya reaktualisasi. Salah satu konfigurasi kongkritnya adalah dengan melakukan optimalisasi peran pesantren sebagaiman yang telah dideskripsikan tadi. Selain itu, potensi (peran pesantren) yang mesti dibangun kembali adalah: pesantren sebagai lembaga pendidikan yang populis, didirikan secara mandiri oleh dan untuk masyarakat, sangat berperan dalam pembentukan moral bangsa. Jiwa kemandirian dan kesederhanaan yang dimiliki oleh warga pesantren mengajarkan bagaimana menjadi sosok yang berdikari. (Achmad Patoni: 2007)


Pangeran S Naga P
CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga
Angkatan 2010


*Dimuat di Majalah SARUNG CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Rekreasi Dalam Kreasi . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates