Dalam kerangka bangungan pendidikan di Indonesia, kita mengenal sebuah lembaga pendidikan bernama pesantren. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, pesantren merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan karena kontribusi dan partisipasinya yang sangat besar terhadap perkembangan idealisme pendidikan di Indonesia. Pesantren adalah simbol arsitektur pendidikan yang mengkombinasikan dua model pendidikan, formal dan non-formal.
Sejarah keberadaan dan perkembangan pesantren di Indonesia
setidaknya telah dimulai setelah abak ke-16. Pesantren merupakan konfigurasi
kolaborasi beberapa aspek pendidikan, seperti pendidikan agama, dakwah,
pendidikan kemasyarakatan, dan aspek-aspek lainnya. Tidak dapat dipungkiri
bahwa awalnya pesantren sangat piawai dalam memformulasikan konsep pemikiran
berlandaskan agama dengan pemikiran sosio-antropologis. Sehingga dapat kita
saksikan betapa besarnya sumbangsih pesantren dalam rekam jejak perkembangan
pola pikir bangsa ini.
Pesantren, sebagai transformasi sistem pendidikan Hindu dan Budha,
merupakan sistem pendidikan yang orisinil berasal dari khazanah kebudayaan
Indonesia. Uniknya, meskipun di beberapa daerah di Asia Tenggara memiliki
sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren, namun pesantren di Indonesia
mempunyai ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah sistem pengajaran wetonan
dan sorogan yang hanya dikenal di negeri ini.
Fungsi atau peran pesantren terhadap perjalanan bangsa dan
masyarakatnya dapat diformulasikan dalam beberapa konsepsi. Perlu diperhatikan
bahwa pesantren memiliki dua fungsi substantif. Pertama, pesantren
adalah sebuah lembaga pendidikan, dan kedua, pesantren adalah sebuah
lembaga sosial kemasyarakatan. Kehadiran pesantren sangat diharapkan sebagai changing
and developing people. Karena sejatinya pesantren diasumsikan sebagai
lambang permanensies seorang kiyai dalam sebuah komunitas. Dalam artian, seorang
kiyai, dengan muatan kharismatik dan kepemimpinannya, dibutuhkan untuk merubah
pola kehidupan sebuah masyarakat yang jauh dari peradaban yang baik. Kisah
tentang Walisongo merupakan salah satu bukti bahwa sosok kiyai sebagai salah
satu unsur pesantren telah menciptakan sebuah pola hidup baru yang lebih baik
dalam sebuah masyarakat. Relasi inilah yang selanjutnya dalam ranah yang lebih
besar mampu melahirkan masyarakat dan bangsa yang baik pula.
Selain dua fungsi di atas, pesantren juga berekspresi secarap
positif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Respon-respon
pesantren kemudian bermuara pada terbentuknya karakter masyarakat yang lebih
baik dan struktural. Pertama, pesantren menyikapi persoalan-persoalan
aktual dengan luwes dan fleksibel. Salah satu prinsip primordial yang tetap dipegang
oleh kalangan pesantren adalah kaidah “al-muhafadzah ala al-qadim al-salih
wa al-ahzu ala al-jadid al-aslah” (mempertahakan warisan yang baik dan mengambil
kepada sesuatu yang lebih baik). Pesantren memiliki dinamika yang seimbang
dalam melihat sebuah kejadian yang sedang booming.
Meminjam istilah KH. Zainuddin MZ., civitas pesantren selalu
mengedepankan al-Qur’an dan Hadis sebagai way of life atau sumber
rujukan dalam bersikap dan berargumen. Akan tetapi kalangan pesantren juga
beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan modern yang universal. Masyarakat
pesantren memiliki satu jargon yang prinsipil yaitu otak boleh berkiblat ke
Jerman tetapi hati tetap condong ke Madinah. Sederhananya, aplikasi dan sinergi
pemikiran dan teknologi yang mutakhir dari Eropa boleh dilakukan, namun
landasan dalam aktifitas keagamaan tidak boleh berpijak kepada selain yang
diajarkan oleh Rasulullah.
Kedua, pesantren
telah mengaplikasikan konsep demokrasi sejak lama. Sebagaimana kita ketahui,
demokrasi merupakan salah satu sendi kemandirian bangsa yang besar ini. Dalam
pemilihan pengurus kelas atau asrama, dilakukan secara swadaya oleh para santri
sendri. Birokrat pesantren hanyalah fasilitator. Dalam artian, alur perjalanan
organisasi santri benar-benar berasaskan demokrasi: dari santri, oleh santri,
dan untuk santri. Pesantren menyediakan lahan bagi para santri untuk aktif dalam
mengembangkan potensi organisasi yang mereka miliki. Belakangan kemudian muncul
formulasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20
tahun 2003, tentang tujuan pendidikan nasional sebagai penyuplai kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pesantren adalah cikal
bakal kemandirian bangsa dalam kontek demokrasi dan pengembangan potensi anak
peserta didik.
Ketiga, Freire (1970)
dalam "Pedagogy of the Oppressed" berpendapat bahwa perlu
adanya kesadaran trasnformasi yang dijalani oleh seorang peserta didik. Freire menginginkan adanya pendidikan yang
berkomposisikan kesadaran faktual baik dalam fakta sosial, budaya, politik dan
sebagainya. Jauh sebelum hasrat Freire tersebut, pesantren telah menerjemahkan
konsep tersebut ke dalam sistem pendidikan yang tidak hanya berkosentrasi pada
kekuatan material, tetapi juga bersinggungan dengan kekuatan spiritual, sebagai
akumulasi dari keintiman dan intensifikasi relasi dengan Sang Pencipta. Dalam
kerangka berpikir ala pesantren, karakter bangsa yang hebat adalah ketika
masyarakat yang menghuni di dalamnya memiliki 3 bentuk kreativitas: kreativitas
konseptual (ide), kreativitas spiritual (akhlak karimah), dan kreativitas
sosial (bermasyarakat). Dengan melihat fakta tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa pesantren adalah soko guru dan kiblat pendidikan di Indonesia.
Keempat, Gus Dur
berstatemen bahwa: “Sumbangsih yang telah diberikan pesantren bagi bangsa
ini telah sangat besar. Karena itu pesantren perlu mendapatkan perhatian, agar
perannya dalam mengisi pembangunan semakin dirasakan masyarakat”. Di antara
sumbangsih nyata dari pesantren terhadap kemandirian bangsa ini adalah output
yang lahir dari “rahim” beberapa pesantren di Indonesia. Banyak tokoh bangsa
yang berlatar belakang pesantren. Di abad ke-17 hingga awal abad ke-19 tercatat
nama-nama sekaliber Hamzah Fansuri, Nuruddin Raniri, Abdul Rauf Singkili,
Yussuf Makassari, Abdul Samad Palimbani, Khatib Minangkabawi, Nawawi Bantani,
Arsyad Banjari dan lain-lain. Mereka adalah founding father pembaruan Islam di
Nusantara. Karya-karya besar di bidang Fikih, Tafsir, Hadits, dan Tasawuf, dan
hasil kreasi intelektual mereka bukan hanya dalam skala domestik nusantara,
tapi juga sampai diakui di kawasan internasional.
Lalu pada akhir
abad ke-19 hingga abad ke-20, kita juga mengenal Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari,
Wahid Hasyim, Buya Hamka, Iljas Jacub, Mahmud Junus, Abdul Kahar Mudzakkir,
Muchtar Lutfi, M. Rasjidi, Harun Nasution, Jusuf Sa’ad, dan lain-lain. Kemudian
pada abad sekarang kita menemukan sosok-sosok seperti Gus Dur, Nurcholish
Madjid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, Ali
Yafie, Quraish Shihab, Alwi Shihab, Syafii Antonio, Mukti Ali, Yusril Ihza
Mahendra, Tuan Guru Bajang, dan lain-lain. Kontribusi mereka terhadap
perkembangan aspek kehidupan bangsa ini sangat besar. Partisipasi dan andil
mereka menjadi tolak ukur tersendiri dalam diskusi nasional dan internasional. Pemetaan
dinamika yang terjadi di bangsa ini tidak terlepas dari pemikiran mereka.
Penjelasan-penjelasan
di atas menggambarkan betapa pentingnya eksistensi pesantren dalam sejarah
kehidupan bangsa ini. Dimulai sejak kemunculannya hingga masa-masa berikutnya.
Merujuk kepada statemen Robert W. Hefner (1993) dan Bahtiar Effendy (1995),
bahwa santri, sebagai sosok yang lahir dari pesantren, merupakan salah satu
sarana pendukung kemandirian dan pembaharuan di bangsa ini.
Mengamati peristiwa-peristiwa
yang sedang terjadi di bangsa ini, dimana problematika individu dan kebangsaan
merajalela di berbagai aspek kehidupan, maka reformulasi peran pesantren
seperti di atas menjadi sesuatu yang obligatif dan represif. Dapat kita
saksikan bagaimana terjadinya dekadensi kinerja yang menyelimuti
pejabat-pejabat di negeri ini. Dehidrasi kontribusi, yaitu minimnya andil yang
diberikan oleh sebagian besar pejabat terhadap perkembangan dan kemandirian
bangsa. Di sinilah penekanan fungsi pesantren dimunculkan untuk mengatasi self-initiative
crisis yang sedang kita alami.
Reformulasi
peran pesantren sebagai wadah penyemaian embrio pribadi mandiri seperti di atas
tidak cukup tanpa adanya upaya reaktualisasi. Salah satu konfigurasi
kongkritnya adalah dengan melakukan optimalisasi peran pesantren sebagaiman
yang telah dideskripsikan tadi. Selain itu, potensi (peran pesantren) yang
mesti dibangun kembali adalah: pesantren sebagai lembaga pendidikan yang
populis, didirikan secara mandiri oleh dan untuk masyarakat, sangat berperan
dalam pembentukan moral bangsa. Jiwa kemandirian dan kesederhanaan yang
dimiliki oleh warga pesantren mengajarkan bagaimana menjadi sosok yang
berdikari. (Achmad Patoni: 2007)
Pangeran S Naga
P
CSS MoRA UIN
Sunan Kalijaga
Angkatan 2010
*Dimuat di Majalah SARUNG CSS MoRA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar