Sudah 84 tahun sejak ikrar persatuan para pemuda, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda, dicetuskan pada tanggal 28
Oktober 1928, pemuda Indonesia tetap menjadi sorotan. Sumpah yang dibacakan di
sebuah pondokan pelajar dan mahasiswa ini, tepatnya di Jalan Kramat Raya 106,
hanyalah sekelumit dari peristiwa-peristiwa berkaitan dengan peran pemuda,
khususnya mahasiswa, dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa-peristiwa ini pula yang semakin mengukuhkan mahasiswa sebagai salah
satu pihak yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan berkembang di
negeri ini. Kenapa mahasiswa? Karena sosok yang satu ini merupakan representasi
dari kaum pemuda bangsa ini.
Leksikon sejarah seperti ini kini menjadi urgen untuk
direfleksikan dan direaktualisasi, sehubungan dengan kondisi pasang surut peran
mahasiswa dalam mengawal perjalanan bangsa ini. Kita pernah dibuat bangga
dengan partisipasi mahasiswa dalam proses terbentuknya beberapa kebijakan di
negeri ini. Salah satunya, dan yang paling monumental, adalah ketika tahun 1998
mahasiswa Indonesia berhasil menggulingkan supremasi Orde Baru yang dinilai
tidak membawa kemakmuran bagi rakyat bangsa ini.
Akan tetapi, beberapa tahun setelah terjadinya peristiwa
reformasi tersebut, dunia mahasiswa Indonesia dirundung oleh beberapa kejadian
yang mencoreng muka mahasiswa itu sendiri. Ya, momen Sumpah Pemuda 28 Oktober
mendatang justru dibuka dengan peristiwa-peristiwa miris di lingkungan pemuda
kita. Tentu kita masih ingat peristiwa tawuran pelajar beberapa waktu lalu,
kemudian disusul dengan tawuran antar mahasiswa di salah satu kampus besar di
Sulawesi Selatan.
Peristiwa tawuran seperti ini tidak dapat dipungkiri
justru memberi kesan tidak adanya persatuan di antara mahasiswa kita. Persatuan
mahasiswa, yang oleh Muhammad Yamin, terbentuk oleh dari aspek sejarah, bahasa,
hukum adat, pendidikan, dan kemauan, kini mulai tersisihkan oleh aspek-aspek
lain yang mungkin lebih bersifat politis. Memang belakangan muncul asumsi bahwa
perpecahan di antara mahasiswa disebabkan oleh kekuatan politis yang menyusup
ke dalam tubuh mahasiswa kita, guna memecah belah kekuatan mahasiswa yang
seringkali memberikan protes dan gerakan perlawanan terhadap hegemoni dan
kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Terlepas dari asumsi di atas, masyarakat Indonesia
tentunya sangat merindukan gerakan mahasiswa yang memperjuangkan keinginan dan
hasrat untuk sejahtera. Adalah sebuah kewajiban bagi mahasiswa untuk terus
mengejawantahkan rumusan fungsinya ke dalam praktik keseharian. Peristiwa Boedi
Oetomo tahun 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945,
hingga reformasi pada tahun 1998, adalah bukti sahih yang menunjukkan bahwa
mahasiswa adalah lokomotif yang membawa aspirasi rakyat bangsa ini. Peran
mahasiswa sangat dituntut implementasinya, salah satunya disebabkan oleh tidak
efektifnya lembaga perwakilan rakyat di negeri ini dalam menyampaikan aspirasi
dari bawah. Pada saat inilah mahasiswa, mewakili kaum muda, berfungsi sebagai
corong yang menyuarakan aspirasi rakyat kita.
Jelaslah, ketika parlemen kita lesu dalam menyambung
lidah rakyat, mahasiswa seharusnya semakin maju dan berani menampakkan
fungsinya. Sumpah Pemuda 28 Oktober mendatang hanyalah satu momen penting untuk
merefleksikan kembali fungsi substantif mahasiswa. Langkah-langkah politis dari
beberapa kalangan seharusnya tidak sampai memporakporandakan persatuan
mahasiswa, apalagi sampai pada tahap saling membunuh. Pada akhirnya, mahasiswa
harus menyadari fungsinya sebagai gerbong yang memikul semua keingingan rakyat.
Dan yang terpenting, fungsi dan peran ini semestinya selalu direfleksikan untuk
kemudian diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Oleh : Pangeran S Naga P
Mahasiswa Fakulas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
*dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat edisi Selasa, 23 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar