Beberapa hari lagi kita akan menutup tahun 2011 dan membuka altar
tahun baru, tahun 2012. Berbagai catatan mengiringi pergantian tahun kali ini.
Rangkaian fenomena yang terjadi selama kurun tahun 2011 menjadi bahan refleksi
bagi kita untuk memperbaiki diri di masa-masa selanjutnya. Entah itu prestasi,
dinamika, stagnansi, maupun degradasi posisi sekalipun, merupakan bab-bab
pengalaman yang semestinya dijadikan acuan dan pelajaran untuk menjawab semua
problematika kebangsaan di tahun 2012 nanti.
Tahun 2011 yang sebentar lagi akan berakhir ini, dalam
perjalanannya diiringi oleh prestasi-prestasi bangsa yang bisa digolongkan luar
biasa. Di antaranya adalah tertangkapnya beberapa gembong teroris dan koruptor
kelas kakap seperti Gayus Tambunan. Contoh lain dan yang masih terngiang dalam
bingkai ingatan kita adalah kesuksesan bangsa Indonesia menyelenggarakan ajang
ASEAN Games beberapa waktu lalu, yang lebih berkesan lagi ketika kita mampu
menahbiskan diri sebagai juara umum.
Yang perlu kita cermati juga, leksikon perjalanan yang dilalui oleh
bangsa ini dan masyarakatnya selama tahun 2011 begitu bervariasi warna. Ada
dinamika yang terjadi, di mana kondisi masyarakat dalam berbagai aspeknya
mengalami naik turun. Kadang senang dan kadang turun. Sementara orang-orangnya,
suatu ketika mengumbar janji dan di saat yang lain dia mengingkari. Itulah
dinamika. Ada pula stagnansi yang pernah terjadi di tahun 2011 ini. Dapat kita
saksikan bagaimana pengentasan beberapa kasus korupsi dan kasus-kasus lain di
negeri ini bersifat jalan di tempat. Entah mengapa, beberapa permasalahan
diendapkan begitu saja, tanpa ada langkah lebih lanjut. Yang lebih miris lagi,
acapkali selama tahun 2011 ini kita mengalami “degradasi” atau “dehidrasi”
kinerja dan dedikasi. Bahkan ada beberapa survey yang secara umum menunjukkan
bahwa sebagian politikus muda tidak memberikan kontribusi yang maksimal
terhadap pembangunan bangsa. Jelas ini merupakan pukulan dan pekerjaan rumah
yang wajib diselesaikan.
Prestasi, dinamika, stagnansi, dan bentuk-bentuk realita lain yang
terjadi selama tahun 2011 menjadi rangkaian bahan refleksi dan perenungan
sebelum kita benar-benar melepas tahun ini. Kita tidak ingin meninggalkan tahun
ini dengan perasaan kecewa, marah, atau juga malu. Semestinya kita menyongsong
tahun 2012 dengan kepala tegak lantaran di tahun kemarin kita mengukir prestasi
dan dinamika positif yang membanggakan. Jikapun sudah terlanjur kecewa, marah,
atau malu, maka tugas besar yang harus diemban pada tahun baru mendatang adalah
menghapus semua perasaan tersebut.
Ada beberapa aspek yang harus kita rubah untuk tidak terjerembab
lagi dalam kekacauan bertingkah laku di masyarakat. Salah satunya adalah
paradigma apatis yang tidak mengindahkan situasi masyarakat di bangsa ini.
Paradigma apatis ini sendiri dianut oleh sebagian pejabat dan politikus di
negeri ini. Ciri-cirinya, dalam kinerjanya mereka terjebak dalam egosentris
yang dalam, mementingkan individu maupun golongan tertentu (ashabiyah),
serta lebih mengedepankan sisi profit (keuntungan) yang akan mereka
raih. Golongan ini tidak terlalu memikirkan bagaimana efek positif dari peran
yang mereka mainkan dalam stratifikasi sosial yang ada. Akibatnya fatal, di
antaranya adalah menjamurnya korupsi dan nepotisme yang tentunya sangat merugikan.
Selain paradigma apatis, sebagian kita, selama tahun 2011 atau bahkan sudah sejak
lama, juga mengidap paradigma retoris. Sederhananya, paradigma retoris adalah
konsep berpikir yang dalam praktiknya didominasi oleh teori-teori vokal yang
diaplikasikan hanya sebagian kecilnya
saja. Faktanya, banyak pejabat maupun politikus yang memiliki kelakuan seperti
ini. Sering kita saksikan betapa banyak kebijakan yang dibuat hanya untuk
memenuhi diskusi sebuah forum. Ironinya, ketika muncul sebuah masalah, mereka
berlomba-lomba mengajukan ide-ide brilian, namun sayangnya tidak segera
direalisasikan sampai masalah itu larut dalam perdebatan publik. Akan lebih
parah lagi apabila retorika yang dibawakan hanya sebagai pengantar kekuasaan,
bukan semata untuk kesejahteraan rakyat.
Merubah paradigma adalah sebuah pekerjaan besar. Kita butuh
kebersamaan untuk melakukan ini di tahun 2012 kelak. Sambutan terhadap tahun
baru ini jangan hanya dengan hura-hura, tetapi juga kesadaran untuk bisa hidup
lebih baik. Jangan sampai stagnansi dan penurunan dedikasi terjadi lagi di
tahun yang akan datang. Selain itu, paradigma apatis dan retoris tidak boleh
dipertahankan lagi dan harus diganti dengan paradigma yang positif, paradigma
peduli dan aplikatif.
Oleh: Pangeran S Naga P
Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
*dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
*dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar