Prolog

Jujur saja, ngeblog is not my hobby. Ngeblog just iseng-isengan ae lah. Blog ini cuma buat nuangin segala isi hati, kepala, telinga, dada, kaki alias sikil, tangan, dan organ tubuh saya yang lainnya, termasuk yang rahasia itu. Nama saya juga seperti sebuah keisengan, Pangeran Shry Naga Poespa. Bermarga Naga menjadi sebuah kebanggaan, bukan sekedar hobi tentunya. Lahir di Canary, pada 09 Juni 1990. Menjadi penengah atau anak ke-4 dari 6 bersaudara. Beristrikan Intan Rafika Permata Hati. Putri cantik dan mempesona dari Loktuan-Bontang. Memiliki cita-cita sebagai insan paripurna. Misalnya, menjadi petani dengan pekerjaan sampingan sebagai rektor sebuah perguruan tinggi.

Berita Kita

Semoga artikel, opini, puisi, atau apapun yang ada dalam blog ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Sabtu, 29 Desember 2012

Sejarah Nenek Moyang Pulau Komodo

Berikut adalah artikel tentang asal-muasal masyarakat Pulau Komodo-Flores Barat, NTT.


Catatan awal untuk diketahui bahwa naskah di bawah ini merupakan kutipan dari makalah Didik Pradjoko, M.Hum, Dosen Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, berjudul Migrasi, Asal Usul Nenek Moyang dan Sumber Sejarah:  Menguak Sejarah Migrasi Berdasarkan Cerita Lisan Maritim Masyarakat  Suku-Suku di Kawasan Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur yang disampaikan dalam Konferensi Nasional  Sejarah IX bertempat di Hotel Bidakara  Jakarta, 5 – 7 Juli 2011.

Di sebelah Barat Pulau Flores terdapat Pulau Komodo yang jarang penduduknya, pulau ini bersama pulau Rinca di sebelah timurnya terletak di Selat Sape, antara Pulau Sumbawa dan Pulau Flores. Perjalanan ke Pulau Sumbawa dilakukan dengan perahu melewati pulau-pulau kecil seperti Girilawa, Lulu, Bendera dan Gilibanta, yang membutuhkan waktu satu hari pelayaran. Sementara untuk berlayar menuju Labuhan Bajo di Flores memakan waktu perjalanan setengah hari, dengan melewati pulau Messah.(Verheijen, 1987: 2)
 Penduduk Pulau Komodo dikenal dengan sebutan Ata Modo dan pulaunya mereka sebut Tana Modo, dengan jumlah desa yang sedikit jumlahnya. Menurut Zollinger, sekitar tahun 1850, penduduk yang tinggal  di Pulau Komodo dahulu mengungsi ke Bima akibat adanya serangan bajak laut. (Verheijen, 1987: 4-5). Berdasarkan laporan Residen Belanda di Kupang, Gronovius yang berlayar ke, Pulau Komodo dan daerah Sape di Sumbawa timur, tahun 1846, merupakan  tempat yang dipakai sebagai pangkalan oleh para bajak laut untuk menyerang desa-desa di pantai utara Sumba, dan menangkap penduduknya untuk dijadikan budak yang diperjual belikan.
Kebanyakan kapal-kapal bajak laut itu berasal dari Bugis dan Makasar. Bahkan dalam salah satu cerita legenda orang Komodo, para bajak laut diceritakan  berasal dari negeri bajak laut, Butung (Buton) di Sulawesi tenggara. Laporan-laporan pada abad ke-19 menyebutkan Pulau Komodo adalah tempat pembuangan orang-orang yang terlibat kejahatan. Mereka adalah orang-orang yang menjadi budak akibat hutang dan orang hukuman  yang berada dibawah pengawasan wakil dari Kesultanan Bima. Pada abad ke-19 kapal-kapal dari Manggarai, daerah penguasaan Sultan Bima, yang hendak mengirim upeti tiap tahunnya, singgah di bandar di Pulau Komodo. Upeti yang diberikan terdiri dari hasil bumi, budak, lilin lebah, emas, lontar dan asam (tamarine  11 indica).(Verheijen, 1987: 4-5)
Selain penduduk asli, Pulau Komodo juga didiami oleh  orang-orang dari Sumba, Manggarai, Ambon, Kapu (dari Manggarai barat), Sape (Sumbawa timur), Bugis, Endeh (Flores tengah)  dan orang Welak (Flores barat). (Needham, 54) Letak Pulau Komodo di Selat Sape, ternyata juga menjadi daerah rute pelayaran dan perdagangan dari daerah-daerah lain, terutama dengan daerah Ende, Flores dan Sumbawa. Perahu dagang dan nelayan dari Ende bahkan menangkap ikan Hiu sampai ke perairan Pulau Komodo atau membeli hasil bumi dari penduduk seperti asam Jawa, gula enau dan tepung sagu.
Begitu juga dengan kedatangan perahu-perahu nelayan dan dagang Bugis yang menggunakan perahupatorani atau padewakang. Cerita kedatangan para pelaut Bugis ini juga terdapat dalam cerita rakyat di Komodo, tentang ata Gili Motang atau orang Gili Motang. Dikisahkan dalam bahasa Komodo, yang sudah diterjemahkan:
Moyang kami datang dari tanah Bugis, pergi berlayar ke Gili Motang. Setibanya di Gili Motang, ia bertemu dengan orang Gili Motang, “Datang dari mana?” DiJawab oleh moyang kami, “dari (tanah) Bugis”. “bapak mau ke mana?”. “Bukan, kami berlayar ke sini saja”. Kata mereka,”kalau begitu bapak jangan berangkat, maunya menjadi kawan kami di sini”. Jawab moyang kami, “Baik”.  Sesudah itu orang Gili Motang suruh (dia) membuat perahu, membuat perahu di Pulau Gili Motang. Maka moyang kami membuatnya. Sesudah ia selesai, diikatnya tali pada buritannya, ditambat pada pohon asam. Sesudah ia selesai, Tuanku Sangaji Mbojo (Bimapenulis) itu pesan kepada moyang kami untuk datang. Maka moyang kami pergi ke Mbojo.(Verheijen, 1987: 77)
 Cerita rakyat tersebut menggambarkan kedatangan para pelaut Bugis yang dianggap sebagai nenek moyang orang Komodo, bahkan mereka menganggap tradisi pembuatan perahu di Pulau  Komodo berasal dari orang-orang Bugis yang datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Rekreasi Dalam Kreasi . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates