Prolog

Jujur saja, ngeblog is not my hobby. Ngeblog just iseng-isengan ae lah. Blog ini cuma buat nuangin segala isi hati, kepala, telinga, dada, kaki alias sikil, tangan, dan organ tubuh saya yang lainnya, termasuk yang rahasia itu. Nama saya juga seperti sebuah keisengan, Pangeran Shry Naga Poespa. Bermarga Naga menjadi sebuah kebanggaan, bukan sekedar hobi tentunya. Lahir di Canary, pada 09 Juni 1990. Menjadi penengah atau anak ke-4 dari 6 bersaudara. Beristrikan Intan Rafika Permata Hati. Putri cantik dan mempesona dari Loktuan-Bontang. Memiliki cita-cita sebagai insan paripurna. Misalnya, menjadi petani dengan pekerjaan sampingan sebagai rektor sebuah perguruan tinggi.

Berita Kita

Semoga artikel, opini, puisi, atau apapun yang ada dalam blog ini bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Selasa, 23 Oktober 2012

Membaca Status; “Kekerasan Sebagai Budaya”


Jika merunut pada jejak-jejak leksikon sejarah kehidupan manusia, maka kita akan mendapati kenyataan bahwa kekerasan (dalam bentuk apapun) telah mendampingi kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Bahkan bisa dikatakan bahwa usia kekerasan, baik kekerasan individu maupun institusi, kekerasan fisik maupun bathin, serta kekerasan model lainnya, adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri. Kekerasan terbukti telah “merepotkan” umat manusia dengan segala konsekuensinya. Sejarah juga telah mencatat bahwa konvensi mengenai hukum serta perundang-undangan tentang hukum lainnya lahir ketika sebelumnya terjadi kekerasan yang tentunya mengganggu kenormalan kehidupan manusia. Sebut saja Magna Charta, Bill of Rights versi Inggris dan Amerika, Declaration des droits delhome et du Citoyen milik Perancis, The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi HAM) buatan PBB, Deklarasi Kairo, serta kovenan-kovenan hukum lainnya, merupakan kesepakatan yang berawal dari suatu kejadian atau aktifitas yang menyentuh aspek-aspek asasi dalam kehidupan manusia, yaitu berupa akumulasi kekerasan-kekerasan.

            Deskripsi singkat di atas memastikan sebuah premis sebagai jawaban atas pertanyaan apakah benar kekerasan telah membudaya dalam kehidupan kita? Jelas bahwa perkembangan zaman dengan lahirnya istilah-istilah baru seperti globalisasi, modernisasi, dan istilah-istilah lainnya tidak mampu menggeser kekerasan dari ranah kehidupan sosial manusia. Kekerasan intelektual, kekerasan ekonomi, kekerasan dalam bidang agama, dan kekerasan-kekerasan lainnya seakan-akan memiliki “hak paten” untuk hidup dan berkembang bersama manusia. Beberapa fenomena kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa kekerasan seakan-akan “memproklamirkan” diri sebagai salah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Disadari atau tidak, kehidupan memang selalu berkaitan dengan hal-hal yang kontradiktif, dan kekerasan termasuk di dalamnya.

            Pembahasan-pembahasan selanjutnya tentang pertanyaan tadi mengerucut pada satu kongklusi bahwa kekerasan memang telah membudaya dalam kehidupan manusia. Analogi bebasnya adalah bahwa awalnya kekerasan itu hanyalah berbentuk segumpal darah, kemudian berkembang menjadi ceceran-ceceran yang merasuk ke berbagai aspek kehidupan manusia, kemudian membeku menjadi seonggok daging sebagai fenomena. Itulah bentuk proses kekerasan terjadi.

            Kesimpulan bahwa kekerasan telah membudaya dalam rantai kehidupan manusia memiliki alasan sebagai berikut:
a.       Deskripsi singkat di atas menggambarkan bahwa kekerasan melekat dalam kehidupan manusia sebagai konsekuensi dari kehidupan berkomunitas (mengarah pada Teori Konflik)
b.      Kepingan-kepingan fenomena yang terjadi di sekita kita merupakan bukti bahwa kekerasan telah menjadi sebuah paradigma beberapa kalangan. Kasus korupsi Gayus Tambunan merupakan contoh kekerasan ekonomi, inequality dalam bidang pendidikan mewakili kekerasan intelektual, KDRT dan penyiksaan PRT adalah contoh riil dari kekerasan hak asasi, dan masih banyak lagi fenomena-fenomena lainnya. Kekerasan-kekerasan tadi bukanlah yang pertama dalam perjalanan kehidupan kita, akan tetapi merupakan ulangan dari fenomena kekerasan sejenis sebelumnya. Maka bukanlah sebuah kekeliruan jika kita menyimpulkan bahwa status kekerasan bukan lagi sebatas wacana atau fenomena biasa tetapi telah menjelma menjadi sebuah kebudayaan yang masih “terpelihara”.



Oleh : Pangeran S Naga P
   *dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2011. Rekreasi Dalam Kreasi . All Rights Reserved
Home | Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Site map
Design by Herdiansyah . Published by Borneo Templates